Senin, 18 Agustus 2014

7 Film Hollywood Terbaik 2014


1. The Lego Movie (Sutr. Phil Lord, Christopher Miller)


Selalu menyenangkan bila Hollywood berhasil membuat penonton dewasa dan anak-anak terhibur di saat bersamaan. The Lego Movie adalah tipe film seperti itu. Sesuai judulnya, film ini diangkat dari permainan lego yang populer. Tidak sekadar memindahkan permainan lego ke layar lebar, filmnya juga berhasil mengangkat karakter-karakter ikonik mulai dari tokoh film sampai superhero lengkap dengan referensi sub teks masing-masing yang disajikan kocak.
Referensi ini membikin filmnya kaya akan catatan kaki, tak di saat bersamaan tak ingin terlihat sok pintar pada penontonnya. Bagian terbaik film ini, buat kami, bahkan bukan saat sang jagoan beraksi di dunia lego, tapi saat berpindah ke dunia nyata. Di situ kita bertemu kenyataan bahwa yang kita tonton adalah metafora dari filosofi lego. Film ini mempertanyakan hakikat asyiknya bermain lego: Apa saat kita bebas berkreasi membuat dan membangun apa saja? Atau, apa saat lego yang kita buat dilem hingga rekat dan dengan begitu tak bisa diubah-ubah lagi?








2. The Fault in Our Stars (Sutr. Josh Boone)
Ketika sebuah film sukses membuat penontonnya menitikkan air mata, film itu bolehlah dianggap berhasil. Ya, artinya berhasil menggerakkan emosi yang menontonnya. The Fault in Our Stars tipe film seperti itu. Sulit untuk tetap menahan air mata yang menggenang tak jatuh membasahi pipi ketika melihat kisah cinta Hazel Grace (Shailene Woodley) dan Augustus Waters (Ansel Esgort) berakhir tak sesuai keinginan kita. Kita begitu mencintai mereka dan ingin mereka bersatu. Tapi apa daya ada penyakit kanker ganas yang menjadi dinding besar penghalang bersatunya cinta mereka. Kita tidak bisa menerima hal itu. Karenanya kita tak kuat menahan air mata yang jatuh.



3. Godzilla (Sutr. Gareth Edwards)
Godzilla` versi 2014 bukan seperti film monster kebanyakan. Pendekatan untuk lebih fokus pada cerita manusia yang membuat `Godzilla` versi Gareth Edwards justru lebih menarik. Kita memang tidak melihat duel monster seperti di Pacific Rim (2013). Sang dewa monster `Godzilla` bahkan baru muncul setelah film berjalan satu jam lewat. Namun, hal tersebut tak membuat `Godzilla` versi 2014 jadi bernilai minus. Justru malah plus. Kisahnya jadi terasa dekat karena punya nilai emosional. Kita diikat oleh karakternya dan bersimpati dengan kisah mereka. Kejutan lain saat menyaksikan `Godzilla` versi baru adalah kisahnya tak mengulang versi 1998 bikinan Hollywood yang masih diingat banyak orang. Kali ini, Godzilla menjadi "monster yang baik" karena justru dia yang menyelamatkan Bumi dari dua monster lain. Di sini, Godzilla dianggap sebagai cara alam memberi keseimbangan.




4. How to Train Your Dragon 2 (Sutr. Dean DeBlois)
Saat edar tahun 2010 silam, How to Train Your Dragon bukan tipikal film keluaran studio animasi Dreamworks. Studio yang antara lain dimiliki Steven Spielberg ini biasanya merilis film-film animasi yang glamor, kocak, penuh referensi pada budaya pop. Itu yang kita saksikan saat melihat franchise Shrek atau Kungfu Panda. How to Train Your Dragon lebih dekat kepada film animasi keluaran rival seumur hidup Dreamworks, studio animasi Pixar. Film-film Pixar jarang yang glamor, tapi kisah coming-of-age pencarian jati diri. Film keduanya, yang bersetting lima tahun setelah film pertama, meneruskan tradisi itu dengan cara lebih baik sesuatu yang jarang terjadi dalam sebuah karya sekuel. Film kedua memiliki konflik lebih rumit. Hubungan anak-orangtua dan percikan asmara Hiccup-Astrid yang lebih digali, serta karakter antagonis yang kelam menjamin film ini disukai penonton dewasa.




5. Edge of Tomorrow (Sutr. Doug Liman)
Inilah film Tom Cruise yang paling "tidak Tom Cruise". Biasanya, Cruise tampil menawan di film-filmnya, menjadi sosok yang tak hanya ganteng tapi juga sempurna. Di sini, Tom Cruise tampil lain. Film ini kita tak hendak membuai kita dengan Tom Cruise yang kian matang dan tampan. Di awal film, ia hadir jadi sosok prajurit pengecut. Tapi seiring waktu, kita melihat karakternya berkembang. Sutradara Doug Liman dengan penulis skenario Christopher McQuarrie bersama duo bersaudara Jez dan John-Henry Butterworth (mengadaptasi novel ringan penulis Jepang Hiroshi Sakurazaka, All You Need Is Kill) menyuguhkan tontonan yang asyik. `Edge of Tomorrow` tak hendak sok pintar menyuguhkan pesan tersirat di balik film. Sebaliknya, kita seperti sedang memainkan sebuah game di komputer, handphone, atau console game. Kita seolah menjadi Tom Cruise di film ini, saat memainkan game yang tokohnya mati di tengah permainan dan harus mulai main dari awal lagi. Saat kita semakin sering memainkannya, kita makin pintar dan pada akhirnya, syukur-syukur menang sampai tamat. Keasyikan itu yang ditawarkan `Edge of Tomorrow`.




6. Divergent (Sutr. Neil Burger)
Tahun 2014 sepertinya akan dikenang menjadi tahun yang membuat Shailene Woodley kian bersinar. Setelah mencuri perhatian sebagai anak George Clooney di The Descendants (2011), pada 2014 Shailene menjadi bintang baru Hollywood. Lewat Divergent, ia menapaki ketenaran yang sebelumnya diraih Kristen Stewart dan Jennifer Lawrence lewat franchise Twilight dan The Hunger Games. Ya, Divergent adalah bukti Hollywood belum kehabisan amunisi mengembangkan franchise baru dengan menyuguhkan gadis jagoan sebagai karakter utamanya. Divergent yang diangkat dari novel karya Veronica Roth telah berhasil mengambil hati banyak penonton. Berkat film ini tiba-tiba kita akrab dengan istilah-istilah seperti Candor (jujur), Erudite (pintar), Amity (damai), Dauntless (berani) dan Abnegation (penolong), sambil berangan-angan apa kita seorang “divergent” alias memiliki campuran kepribadian. 







7. Locke (Sutr. Stephen Knight)
Di saat Hollywood seperti kehabisan kreativitas dengan hanya membuat ulang (reboot dan remake) atau meneruskan cerita yang sudah ada (sekuel), ternyata masih ada tempat untuk sebuah film yang tidak datang dari mana-mana, kecuali dari kejeniusan sineasnya. Film terbaik dari Januari-Juni 2014 bukanlah film besar dengan bujet besar, penuh efek khusus kolosal yang memanjakan mata. Bahkan, film ini praktis hanya dimainkan seorang saja: Tom Hardy sebagai Ivan Locke. Bagaimana bisa sebuah film yang memperlihatkan seseorang mengendarai mobil sambil menelepon dan ditelepon dikatakan terbaik? Cobalah menontonnya untuk membuktikan sendiri bagusnya film ini. Anda dijamin takkan dibuat bosan saat Locke mengatasi masalah terbesar dalam hidup dan kariernya dari dalam sebuah mobil BMW yang melaju di jalanan menuju London. Secara teori, film karya penulis-sutradara Stephen Knight ini takkan berhasil memikat penonton, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Locke sebuah film yang indah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar